"UN Convention Against Cybercrime”: Konvensi Pertama PBB tentang Kejahatan Siber (Bagian II-Habis)
2024-08-19 HaiPress
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Daftar di sini
Kirim artikel
Editor Sandro Gatra
SEPERTI telah diuraikan sebelumnya,Komite yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB telah menyepakati secara konsensus “UN Convention Against Cybercrime”.
Sebagaimana dilansir dilansir Euro News (9/08/2024) berjudul “UN committee approves first cybercrime treaty despite widespread opposition” bahwa perjanjian telah disetujui Komite.
Perjanjian yang dicapai melalui konsensus itu tetap harus menempuh mekanisme selanjutnya melalui pemungutan suara di Majelis Umum PBB pada musim gugur.
Baca juga: “UN Convention Against Cybercrime”: Konvensi Pertama PBB Tentang Kejahatan Siber (Bagian I)
Mencermati proses pembahasan,negara-negara yang terlibat dan masuknya ancaman siber sebagai delapan ancaman global paling serius,Majelis umum diprediksi akan memberi jalan lapang dan mengesahkan konvensi ini.
Untuk mengetahui materi muatan konvensi secara lebih jauh,berikut diulas beberapa pasal penting dalam Konvensi ini yang mendapat perhatian besar dunia.
Pertama,pasal 10 Konvensi mengatur bahwa negara dapat meminta bukti elektronik dari negara lain jika kejahatan tersebut diancam dengan hukuman minimal empat tahun penjara.
Kedua,Pasal 11 konvensi mengatur tentang penyalahgunaan perangkat. Negara pihak diwajibkan menetapkan sebagai tindak pidana,tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak,terkait perolehan,produksi,distribusi,atau penggunaan perangkat,kata sandi,atau data yang dirancang untuk melakukan kejahatan siber.
Namun,pengecualian diberikan jika perangkat tersebut digunakan untuk tujuan sah seperti pengujian atau perlindungan sistem.
Ketiga,Konvensi mengatur tentang pemalsuan data elektronik pada Pasal 12. Negara pihak harus mengkriminalisasi tindakan pemalsuan data elektronik seperti input,perubahan,atau penghapusan data dengan tujuan dianggap otentik dalam proses hukum.
Konvensi menekankan diperlukan adanya niat untuk menipu agar tindakan ini dikenai sanksi pidana.
Keempat,Pasal 13 Konvensi mengatur tentang pencurian atau penipuan melalui sistem teknologi informasi. Tindak pidana ini mencakup pencurian atau penipuan yang menyebabkan hilangnya properti melalui manipulasi data elektronik,gangguan sistem,atau penipuan fakta menggunakan sistem teknologi informasi.
Kelima,Pasal 14 konvensi mengatur terkait pelecehan seksual anak secara daring. Mengatur kriminalisasi produksi,atau kepemilikan materi eksploitasi seksual anak melalui teknologi informasi.
Materi tersebut mencakup konten visual,audio,atau teks yang menggambarkan aktivitas seksual dengan anak di bawah usia 18 tahun.
Negara dapat menentukan batasan untuk pengecualian tertentu,seperti materi yang dihasilkan sendiri oleh anak-anak untuk penggunaan pribadi.
Keenam,terkait HAM dan kebebasan berekspresi,konvensi telah mengakomodasinya dalam Pasal 15. Konvensi memastikan tidak ada ketentuan yang dapat mengizinkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kebebasan mendasar seperti kebebasan berekspresi dan berpendapat.