Haji, Negara, dan Partisipasi Publik
2024-06-29 HaiPress
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Daftar di sini
Kirim artikel
Editor Sandro Gatra
MUSIM haji tahun 1445 hijriah telah memasuki babak akhir,menyusul berakhirnya pelaksanaan puncak ibadah haji di Armuzna (Arafah,Muzdalifah,dan Mina).
Sejumlah kelompok terbang atau kloter secara bertahap telah diberangkatkan ke Tanah Air dan sebagian lainnya yang tergabung dalam gelombang kedua mulai didorong memasuki kota Medinah untuk menjalankan aktivitas ziarah dan sejumlah ritual lainnya.
Sejatinya,sepanjang tahun berjalan,beberapa tahapan telah dilakukan oleh para pemangku kepentingan,baik Pemerintah maupun masyarakat,dalam negeri maupun luar negeri,demi menyukseskan hajat tahunan umat Islam ini.
Energi dan finansial yang dibutuhkan tidak sedikit. Semua komponen bangsa bergerak bersama dan bahu-membahu untuk mewujudkan penyelenggaraan ibadah haji yang berkualitas.
Dari titik ini maka tepat kiranya jika kita menyebut bahwa haji adalah proyek bersama umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Oleh karena itu,upaya-upaya yang dilakukan,baik oleh individu maupun institusi,yang dimaksudkan untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu serta melempar tanggung jawab adalah tindakan yang tidak sejalan dengan semangat kebersamaan dalam mewujudkan suatu program nasional dan hajat umat yang bersifat komunal.
Kesadaran ini sejatinya yang diperlukan saat ini untuk memastikan bahwa proses penyelenggaraan haji tahun 1445 Hijriah berjalan dengan baik dan sesuai dengan target-target yang dicanangkan.
Kehadiran negara
Untuk menjamin keberlangsungan suatu hajat nasional,termasuk dalam konteks penyelenggaraan ibadah haji,maka kehadiran negara menjadi niscaya.
Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi hal mana negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 29 UUD ayat [2]).
Dalam kaitan ini,ibadah haji adalah bagian dari ekspresi atau manifestasi keberagamaan umat Islam dan karenanya negara harus hadir di dalamnya.
Keikutsertaan atau lebih tepatnya tanggung jawab negara dalam proses penyelenggaraan ibadah haji tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Dalam Pasal 10 UU ini dinyatakan bahwa penyelenggaraan ibadah haji reguler menjadi tanggung jawab Pemerintah yang dilaksanakan oleh Menteri Agama.
Selanjutnya,pelaksanaan tanggung jawab tersebut dilakukan melalui satuan kerja yang bersifat tetap dan terstruktur di tingkat daerah,di tingkat pusat,dan di Arab Saudi.
Dari titik ini kita dapat memahami bahwa Kementerian Agama telah mengemban amanat konstitusional,yakni sebagai leading sector bagi terselenggaranya ibadah haji umat Islam Indonesia yang aman,nyaman,tertib,dan sesuai dengan ketentuan syariat.
Sebagai representasi negara,Kementerian Agama telah,sedang,dan akan terus menjalankan amanat sebagai penyelenggara ibadah haji,tidak hanya sebatas regulator,tapi lebih dari itu menjadi pelaksana atas sejumlah regulasi terkait penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia.
Penyelenggaraan ibadah haji menghadirkan dua dimensi sekaligus: keagamaan dan kenegaraan. Konsepsi ini telah digagas dan disadari sepenuhnya oleh para the founding fathers negeri ini.
Sejak 1950,Pemerintah telah menginisiasi kemitraan dalam membangun perhajian di negeri ini. Meski Wahid Hasjim telah menegaskan tentang otoritas Pemerintah sebagai penyelenggara ibadah haji Indonesia,namun tetap saja dalam praktiknya dibangun sinergi dan kerja sama dengan unsur masyarakat,yakni antara lain dengan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (YPHI).
Kerja sama Kementerian Agama dengan YPHI dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 6 Februari 1950,Surat Edaran Menteri Agama RI Nomor AIII/1/648 tanggal 9 Februari 1950,serta Keputusan Dewan Menteri RIS dalam rapat tanggal 8 Februari 1950.